bahan bakar minyak (BBM) yaitu minyak diesel.
Sejak
menjadi negara pengimpor minyak bumi pada tahun 2005 maka subsidi untuk
bahan bakar minyak semakin membebani pemerintah Indonesia. Jika selama
ini bahan bakar minyak menjadi sumber pemasukan bagi
negara maka sejak tahun 2005 malah menjadi sumber pengeluaran utama bagi
negara. Hampir sepertiga dari kebutuhan minyak bumi di
negara ini harus di impor dari luar negeri, produksi minyak bumi
Indonesia 1 juta barel perhari sedangkan kebutuhannya 1,3 juta barel
perhari. Melihat keadaan seperti ini maka pemerintah mulai melirik
sumber energi alternatif yang mampu menyumbang devisa bagi negara.
Sumber energi yang mulai di lirik adalah gas alam, batu bara, panas
bumi, energi sinar matahari, energi samudra hingga bahan bakar nabati
(BBN).
Bahan
bakar nabati mendapat perhatian dari pemerintah karena di Indonesia
tersedia cukup untuk keperluan ekspor dan dalam negeri. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh BPPT sumber bahan bakar nabati yang ada
di Indonesia cukup banyak yaitu 30 jenis tanaman. Di antara 30 jenis
tanaman tersebut yang paling memungkin di pakai sebagai sumber bahan
bakar nabati ada dua jenis tanaman yang layak dikembangkan ditinjau dari
aspek teknis dan aspek ekonomi yaitu kelapa sawit (Palm Oil) dan jarak pagar (Curcas Jatropa).
Kedua
jenis tanaman ini sangat familiar bagi masyarakat Indonesia karena
tanaman sawit merupakan penghasil minyak mentah sawit yang kita kenal
dengan Crude Palm Oil atau CPO. Tanaman jarak pagar sudah dikenal sejak zaman penjajahan Jepang yang digunakan sebagai minyak pelumas untuk mesin perang tentara Jepang Pada Perang dunia ke-2 dan minyak mentah yang dihasilkan oleh minyak jarak dikenal dengan nama Curcas Jatropa Oil atau CJO. Bahan bakar nabati yang diolah dari kedua tanaman ini kita kenal dengan biodiesel.
Bahan
bakar biodiesel sesuai namanya di pakai sebagai pengganti atau campuran
minyak yang digunakan untuk mesin diesel. Biodiesel ini memang bukan
100 % tapi campurannya terdiri dari 70 % minyak solar dan 30 persen dari
Fatty Acid Metyl Ester atau yang lebih dikenal
dengan nama FAME. FAME merupakan produk turunan dari CPO dan CJO lewat
reaksi trans-esterifikasi. Untuk biodiesel dari minyak jarak Indonesia
pantas bersyukur karena satu-satunya negara di dunia yang mampu membuat
biodiesel dengan komposisi 100 persen dari minyak jarak.
Walaupun
cuma 30 persen tapi produksi biodiesel berbahan baku dari kelapa sawit
lebih menjanjikan dari tanaman jarak karena ketersediaan sawit lebih
banyak, harga minyak sawit agak stabil di pasaran dunia, selain itu
minyak sawit dijadikan sebagai komiditas makanan. Hal tersebut belum
berlaku bagi tanaman jarak karena belum teruji dalam komersil dan masih
dalam percobaan. Maka untuk strategi jangka pendek dan menengah
digunakan CPO sebagai bahan baku untuk biodiesel.
Jika biodiesel diproduksi dari CPO
maka akan mengganggu pasokan untuk keperluan industri lain yang
berbasiskan CPO misalnya industri minyak goreng, margarin, surfaktan,
industri kertas, industri polimer dan industri kosmetik. Selain itu
kapasitas pabrik yang dibangun harus dalam skala besar dan harus
terintegrasi dengan industri CPO. Skala yang ideal yang minimum untuk
pembangunan biodiesel dengan berbahan baku biodiesel adalah 100 ribu ton
per tahun dengan laju pengembalian modal sekitar 6 tahun. Angka ini
akan sulit terealisasi mengingat industri lain juga membutuhkan CPO
dalam jumlah yang besar.
Tantangan
yang lain bagi pengembangan industri biodiesel adalah harga CPO dan
bahan baku pendukung lainnya cenderung naik, harus bersaing dengan BBM
konvensional yang sewaktu-waktu harganya bisa jatuh. Karena harga BBM
konvensional tergantung pada situasi politik di Timur Tengah, jika
kondisi politik di Timur Tengah telah stabil maka harga minyak akan
jatuh kembali. Mengingat krisis seperti ini pernah terjadi pada dekade
70-an terjadi embargo minyak bumi. Selain itu adanya persaingan dengan
penghasil biodiesel utama di Eropa yaitu negara Jerman dengan kapasitas
produksi 2 juta ton pertahun. Sebagian besar paten proses
pengolahan biodiesel di pegang oleh negara Jerman. Melihat kondisi
seperti ini perlu dilakukan inovasi untuk pengolahan biodiesel. Maka
alternatif yang dipakai untuk pembuatan biodiesel adalah menggunakan
limbah dari produksi CPO atau yang lebih dikenal dengan nama CPO parit.
Pada tahun 2005 Indonesia punya 360 pabrik CPO dengan produksi 11,6 juta ton dan
dihasilkan limbah cair sebanyak 0,355 juta ton. Limbah cair kelapa
sawit memiliki BOD sebesar 25.000 mg/l, COD sebesar 50.000 mg/l dan pH
4,2 (bersifat asam) limbah ini akan menimbulkan masalah bagi lingkungan hidup jika dibuang secara langsung. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup batasan limbah yang dibuang ke alam adalah 100
mg/l untuk BOD, 350 mg/l untuk COD dan kisaran pH sebesar 6 – 9. Jika
limbah cair ini dimanfaatkan untuk keperluan produksi biodiesel dengan
perkiraan hilang sebesar 10% maka kemungkinan FAME yang akan dihasilkan sebesar 0,320 juta ton yang bisa diolah menjadi 7,093 juta liter biodiesel/tahun.
Kelebihan pembuatan biodiesel dengan bahan baku limbah cair CPO adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan pencemaran limbah terhadap pencemaran air tanah dan sunagai.
2. Transfer Pricing karena penggunaan biodiesl berbahan baku ini akan menekan pokok produksi CPO. Harga solar
untuk keperluan industri per 1 Juli 2006 Rp 6.321,22 – Rp 6.595,70 per
liter (berdasarkan suplai point). Apabila Pabrik CPO menggunakan
Biodisel berbahan baku ini, maka biaya yang dikeluarkan hanya Rp.
4.785,00 perliter (harga standar yang dibuatkan untuk biodiesel mutu
standar) harga ini dapat ditekan lagi karena CPO parit hanya Rp.300,00
perliter. Harga ini dapat ditekan lagi jika terjadi kontrak tetap dengan
pabrik CPO yang ada karena akan dapat terbantu terhadap solusi limbah
cair yang di hasilkan.
3. Memperoleh CDM (clean development mechnism).
4. Bisa di bangun terintegrasi dengan pabrik CPO karena berfungsi sebagai pengolah limbah.
Propinsi
Riau merupakan daerah penghasil CPO terbesar di Indonesia yaitu dengan
produksi 3,3 juta ton pertahun atau hampir 30 persen dari total produksi
sawit Indonesia. Dengan angka produksi sebesar ini maka CPO parit yang
dihasilkan adalah 0.1065 juta ton atau 106,5 ribu ton. Jika dibangun
pabrik biodiesel dengan menggunakan CPO parit di Riau dan
terintegrasi dengan pabrik CPO maka akan mengurangi angka pengangguran.
Mengingat pabrik CPO di Riau berjumlah 118 buah, jika di asumsikan satu
pabrik biodiesel menyerap tenaga kerja 20 orang maka jumlah tenaga kerja
yang terserap adalah 2.360 orang. Sebuah
peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan bisa memininalisir angka
kemiskinan di Riau. Maka ada satu pertanyaan yang muncul, Adakah minat
kita untuk mengembangkannya???
0 Comments:
Post a Comment