PARPEN SIREGAR
ABSTRAK
Pabrik
minyak kelapa sawit (PMKS) merupakan industri yang sarat dengan residu
pengolahan. Limbah cair PMKS merupakan sumber pencemaran yang potensial
bagi manusia dan lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk mengolah
limbah melalui pendekatan teknologi pengolahan limbah (end of the pipe).
Diantaranya dengan memanfaatkan limbah cair PMKS dengan proses digester
anaerob untuk memproduksi biogas. Potensi biogas yang dihasilkan dari
600-700 kg limbah cair PMKS dapat diproduksi sekitar 20 m3 biogas dan setiap m3
gas methan dapat diubah menjadi energi sebesar 4.700 – 6.000 kkal atau
20-24 MJ. Proses produksi biogas dengan digester anaerob akan maksimal
jika tersedia mikroba methanogenik, tingkat keasaman (pH) yang sesuai,
suhu yang sesuai, adanya agitasi (pengadukan), tersedianya nutrisi yang
cukup (P dan N), lamanya waktu fermentasi, kadar air dan oksigen, serta
tidak ada bahan toksik. Selain itu desain perancangan tangki digester
memperhatikan konstanta laju pertumbuhan mikroba maksimum dan menetukan
waktu tinggal biomassa minimum.
Kata kunci : Limbah Cair PMKS, digester anaerob, produksi biogas
PENDAHULUAN
Perkembangan bisnis dan investasi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Permintaan atas minyak nabati dan penyediaan biofuel telah mendorong peningkatan permintaan minyak nabati yang bersumber dari crude palm oil
(CPO) yang berasal dari kelapa sawit. Hal ini disebabkan tanaman kelapa
sawit memiliki potensi menghasilkan minyak sekitar 7 ton/hektar lebih
tinggi dibandingkan dengan kedelai yang hanya 3 ton/hektar. Indonesia
memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan perkebunan dan
industri kelapa sawit karena memiliki potensi cadangan lahan yang cukup
luas, ketersediaan tenaga kerja, dan kesesuaian agroklimat. Luas
perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007 sekitar 6,8 juta hektar
(Heriyadi, 2009). Dari luas tersebut sekitar 60 % diusahakan oleh
perkebunan besar dan sisanya diusahakan oleh perkebunan rakyat
(Soetrisno, 2008).
Peningkatan
luas perkebunan kelapa sawit telah mendorong tumbuhnya
industri-industri pengolahan, diantaranya pabrik minyak kelapa sawit
(PMKS) yang menghasilkan CPO. PMKS merupakan industri yang sarat dengan
residu pengolahan. Menurut Naibaho (1996) PMKS hanya menghasilkan 25-30 %
produk utama berupa 20-23 % CPO dan 5-7 % inti sawit (kernel). Sementara sisanya sebanyak 70-75 % adalah residu hasil pengolahan berupa limbah.
Limbah
adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen pencemaran yang
terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi
masyarakat (Agustina, dkk, 2008). Limbah industri dapat digolongkan
kedalam tiga golongan yaitu limbah cair, limbah padat, dan limbah gas
yang dapat mencemari lingkungan (Djajadiningrat dan Harsono, 1993).
Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh PMKS berkisar antara 600-700
liter/ton tandan buah segar (TBS) (Naibaho, 1999). Saat ini diperkirakan
jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh PMKS di Indonesia mencapai 28,7
juta ton (Isroi, 2008). Limbah ini merupakan sumber pencemaran yang
potensial bagi manusia dan lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk
mengolah limbah melalui pendekatan teknologi pengolahan limbah (end of the pipe). Bahkan sekarang telah digulirkan paradigma pencegahan pencemaran (up of the pipe) (Wardhanu, 2009).
Berbagai
jenis penelitian dilaksanakan selai bertujuan untuk menekan dampak
negatif limbah terhadap manusia dan lingkungan, juga agar limbah
tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dan tidak menimbulkan sampah
(the zero waste concept) sehingga memberikan nilai tambah.
Diantara upaya tersebut adalah pemanfaatan limbah cair PMKS dengan
proses digester anaerob untuk memproduksi biogas.
KARATERISTIK LIMBAH CAIR PMKS
Limbah cair yang dihasilkan olem PMKS berasal dari air kondensat pada proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath),
dan air pencucian pabrik. Jumlah air bungan tergantung pada sistem
pengolahan, kapasitas olah pabrik, dan keadaan peralatan klarifikasi.
Limbah cair PMKS mengandung bahan organik yang relatif tinggi dan tidak
bersifat toksik karena tidak menggunakan bahan kimia dalam proses
ekstraksi minyak. Komposisi kimia limbah cair PMKS dan komposisi asam amino limbah cair segar disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Komposisi Kimia Limbah Cair PMKS
Komponen
|
% Berat Kering
|
Ekstrak dengan ether
|
31.60
|
Protein (N x 6,25)
|
8.20
|
Serat
|
11.90
|
Ekstrak tanpa N
|
34.20
|
Abu
|
14.10
|
P
|
0.24
|
K
|
0.99
|
Ca
|
0.97
|
Mg
|
0.30
|
Na
|
0.08
|
Energi (kkal / 100 gr)
|
454.00
|
Sumber : Naibaho (1996)
Tabel 2. Komposisi Asam Amino Limbah Cair Segar PMKS
Asam Amino
|
%
|
Lisine
|
0.98
|
Histidine
|
2.02
|
Arginine
|
0.74
|
Aspartot asam
|
8.37
|
Threoine
|
3.37
|
Serine
|
8.19
|
Glutamit asam
|
13.19
|
Piroline
|
3.80
|
Glycine
|
1.96
|
Alanine
|
5.67
|
Valine
|
4.05
|
Methionine
|
0.14
|
Isoleusine
|
3.10
|
Leusine
|
8.79
|
Tyrosine
|
2.06
|
Phanylalarine
|
3.48
|
Sumber : Naibaho (1996)
Limbah
cair PMKS umumnya bersuhu tinggi, berwarna kecoklatan, mengandung
padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan
kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi. Bila
larutan tersebut langsung dibuang ke perairan sangat berpotensi
mencemari lingkungan, sehingga harus dioleh terlebih dahulu sebelum
dibuang.
Parameter
yang menggambarkan karakteristik limbah terdiri dari sifat fisik,
kimia, dan biologi. Karakteristik limbah berdasarkan sifat fisik
meliputi suhu, kekeruhan, bau, dan rasa, berdasarkan sifak kimia
meliputi kandungan bahan organik, protein, BOD, chemical oxygen demand
(COD), sedangkan berdasakan sifat biologi meliputi kandungan bakteri
patogen dalam air limbah (Wibisono, 1995). Berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup ada 6 (enam) parameter utama yang dijadikan
acuan baku mutu limbah meliputi :
a. Tingkat
keasaman (pH), ditetapkannya parameter pH bertujuan agar mikroorganisme
dan biota yang terdapat pada penerima tidak terganggu, bahkan
diharapkan dengan pH yang alkalis dapat menaikkan pH badan penerima.
b. BOD,
kebutuhan oksigen hayati yang diperlukan untuk merombak bahan organik.
Semakin tinggi nilai BOD air limbah, maka daya saingnya dengan
mikroorganisme atau biota yang terdapat pada badan penerima akan semakin
tinggi.
c. COD,
kelarutan oksigen kimiawi adalah oksigen yang diperlukan untuk merombak
bahan organik dan anorganik, oleh sebab itu nilai COD lebih besar dari
BOD.
d. Total suspended solid (TSS), menggambarkan padatan melayang dalam cairan limbah. Pengaruh TSS lebih nyata pada kehidupan biota dibandingkan dengan total solid. Semakin tinggi TSS, maka bahan organik membutuhkan oksigen untuk perombakan yang lebih tinggi.
e. Kandungan
total nitrogen, semakin tinggi kandungan total nitrogen dalam cairan
limbah, maka akan menyebabkan keracunan pada biota.
f. Kandungan oil and grease,
dapat mempengaruhi aktifitas mikroba dan merupakan pelapis permukaan
cairan limbah sehingga menghambat proses oksidasi pada saat kondisi
aerobik.
Kementerian
Negara Lingkungan Hidup secara khusus telah menerbitkan 2 (dua)
Keputusan Menteri yang menyangkut pemanfaatan air limbah PMKS yaitu
Kepmen LH Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengkajian dan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit pada Tanah di
Perkebunan Kelapa Sawit dan Kepmen LH Nomor 29 Tahun 2003 tentang Tata
Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit pada
Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit (Soerjani, 2007). Karakteristik limbah
yang dihasilkan PMKS dan baku mutu limbah disajikan pada tabel di bawah
ini.
Tabel 3. Karaktersitik Limbah PMKS dan Baku Mutu Limbah
Parameter
|
Limbah PMKS *)
|
Baku Mutu Limbah **)
|
pH
|
4,10
|
6 – 9
|
BOD (g/L)
|
212,80
|
110
|
COD (g/L)
|
347,20
|
250
|
TSS (g/L)
|
211,70
|
100
|
Kandungan Nitrogen Total (g/L)
|
41
|
20
|
Oil and grease (g/L)
|
31
|
30
|
*) Amaru (2008)
**) Kepmen LH Nomor 51/MEN LH/10/1995
Berdasarkan
data di atas, ternyata semua parameter limbah cair PMKS berada diatas
ambang batas baku mutu limbah. Jika tida dilakukan pencegahan dan
pengolahan limbah, maka akan berdampak negatif terhadap lingkungan
seperti pencemaran air yang mengganggu bahkan meracuni bota perairan,
menimbulkan bau, dan menghasilkan gas methan dan CO2 yang merupakan emisi gas penyebab efek rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan.
PRODUKSI BIOGAS MELALUI PROSES DIGESER ANAEROB
LIMBAH CAIR PMKS
Metode
pengolahan limbah dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi.
Pengolahan limbah secara kimia dilakukan dengan proses koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan flotasi. Proses kimia sering kurang efektif karena pembelian bahan kimianya yang cukup tinggi dan menghasilkan sludge dengan volume yang cukup besar. Sedangkan pengolahan limbah secara biologis dapat dilakukan dengan proses aerob dan anaerob.
Secara
konvensional pengolahan limbah cair PMKS dilakukan secara biologis
dengan menggunakan kolam, yaitu limbah cair diproses dalam kolam aerobik
dan anerobik dengan memanfaatkan mikrobia sebagai perombak BOD dan
menetralisir keasaman cairan limbah.
Pengolahan
limbah cair PMKS secara konvesional banyak dilakukan oleh pabrik karena
teknik tersebut cukup sederhana dan biayanya lebih murah. Namun
pengolahan dengan cara tersebut membutuhkan lahan yang luas untuk
pengolahan limbah. Dengan kapasitas 30 ton TBS/jam, maka dibutuhkan
sekitar 7 hektar lahan untuk pengolahan limbah. Selain itu efesiensi
perombakan limbah cair PMKS hanya 60-70 % dengan waktu retensi yang
cukup lama yaitu 120-140 hari. Kolam-kolam limbah konvensional akan
mengeluarkan gas methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2)
yang membahayakan karena merupakan emisi penyebab efek rumah kaca yang
berbahaya bagi lingkungan. Disamping itu kolam-kolam pengolahan limbah
sering mengalami pendangkalan, sehingga baku mutu limbah tidak tercapai.
Pengolahan
limbah cair PMKS dengan menggunakan digester anaerob dilakukan dengan
mensubtitusi proses yang terjadi di kolam anaerobik pada sistem
konvensional kedalam tangki digester. Tangki digester berfungsi
menggantikan kolam anaerobik yang dibantu dengan pemakaian bakteri
mesophilic dan thermophilic (Naibaho, 1996). Kedua bakteri ini termasuk
bakteri methanogen yang merubah substrat dan menghasilkan gas methan.
Fermentasi
anaerobik dalam proses perombakan bahan organik yang dilakukan oleh
sekelompok mikrobia anaerobik fakultatif maupun obligat dalam satu
tangki digester (reaktor tertutup) pada suhu 35-55 0C.
Metabolisme anaerobik selulose melibatkan banyak reaksi kompleks dan
prosesnya lebih sulit daripada reaksi-reaksi anaerobik bahan-bahan
organik lain seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Bidegradasi tersebut
melalui beberapa tahapan yaitu proses hidrolisis, proses asidogenesis,
proses asetogenesis, dan proses methanogenesis. Proses hidrolisis berupa
proses dekomposisi biomassa kompleks menjadi gkukosa sederhana memakia
enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme sebagai katalis. Hasilnya
biomassa menjadi dapat larut dalam air dan mempunyai bentuk yang lebih
sederhana. Proses asidogenesis merupakan proses perombakan monomer dan
oligomer menjadi asam asetat, CO2, dan asam lemak rantai pendek, serta alkohol. Proses asidogenesis atau fase non methanogenesis menghasilkan asam asetat, CO2, dan H2.
Sementara proses methanogensesis merupakan perubahan senyawa-senyawa
menjadi gas methan yang dilakukan oleh bakteri methanogenik. Salah satu
bakteri methanogeneik yang populer dalam Methanobachillus omelianskii.
Proses
biokonversi methanogenik merupakan proses biologis yang sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik lingkungan biotik maupun
abiotik. Faktor biotik meliputi mikroba dan jasad aktif. Faktor jenis
dan konsentrasi inokulum sangat berperan dalam proses perombakan dan
produksi biogas. Hasil penelitian Mahajoeno, dkk (2008) mengungkapkan
inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh produksi
biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya dimana produksi
biogasnya mencapai 121 liter.
Sedangkan
faktor abiotik meliputi pengadukan (agitasi), suhu, tingkat keasaman
(pH), kadar substrat, kadar air, rasio C/N, dan kadar P dalam substrat,
serta kehadiran bahan toksik (Mahajoeno, dkk, 2008). Diantara faktor abiotik di atas, faktor pengendali utama produksi biogas adalah suhu, pH, dan senyawa beracun.
Kehidupan
mikroba dalam cairan memerlukan kedaaan lingkungan yang cocok antara
lain pH, suhu, dan nutrisi. Derajat keasaman pada mikroba yaitu antara
pH 5-9. Oleh karena itu limbah cair PMKS yang bersifat asam (pH 4-5)
merupakan media yang tidak cocok untuk pertumbuhan bakteri, maka untuk
mengaktifkan bakteri cairan limbah PMKS tersebut harus dinetralisasi.
Penambahan bahan penetral pH dapat meningkatkan produksi biogas. Namun
keasamannya dibatasi agar tidak melebihi pH 9, karena pada pH 5 dan pH 9
dapat menyebabkan terganggunya enzim bakteri (enzim teridir dari
protein yang dapat mengkoagulasi pada pH tertentu). Peningkatan pH
optimum akan memacu proses pembusukan sehingga meningkatkan efektifitas
bakteri methanogenik dan dapat meningkatkan produksi biogas. Mahajoeno,
dkk (2008) menyatakan menunjukkan bahwa pH substrat awal 7 memberikan
peningkatan laju produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan pH yang lain
Peningkatan suhu juga
dapat meningkatkan laju produksi biogas. Mikroba menghendaki suhu
cairan sesuai dengan jenis mikroba yang dikembangkan. Berdasarkan sifat
adaptasi bakteri terhadap suhu dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian
(Naibaho, 1996) yaitu :
a. Phsycrophill, yaitu bakteri yang dapat hidup aktif pada suhu rendah yaitu 10 0C, bakteri ini ditemukan pada daerah-daerah sub tropis.
b. Mesophill, yaitu bakteri yang hidup pada suhu 10-50 0C dan merupakan jenis bakteri yang paling banyak dijumpai pada daerah tropis.
c. Thermophill, yaitu bakteri yang tahan panas pada suhu 50-80 0C. bakteri ini banyak dijumpai pada tambang minyakyang berasal dari perut bumi.
Perombakan limbah dapat berjalan lebih cepat pada penggunaan bakteri thermophill.
Suhu yang tinggi dapat memacu perombakan secara kimiawi, perombakan
yang cepat akan dimanfaatkan oleh bakteri metahonogenik untuk
menghasilkan gas methan, sehingga dapat produksi biogas. Peningkatan
suhu sebesar 40 0C dapat menghasilkan 68,5 liter biogas (Mahajoeno, dkk, 2008).
Limbah
cair mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan mineral yang
dibutuhkan oleh mikroba. Komposisi limbah perlu diperbaiki dengan
penambahan nutrisi seperti untur P dan N yang diberkan dalam bentuk
pupuk TSP dan urea. Jumlah kandungan bahan makanan dalam limbah harus
dipertahankan agar bakteri tetap berkembang dengan baik. Jumlah lemak
yang terdapat dalam limbah akan mempengaruhi aktifitas perombak limbah
karbohidrat dan protein. Selain kontinuitas makanan juga kontak antara
makanan dan bakteri perlu berlangsung dengan baik yang dapat dicapai
dengan melakukan agitasi (pengadukan). agitasi juga berpengaruh terhadap
produksi biogas. Pemberian agitasi berpengaruh lebih baik dibandingkan
tanpa agitasi dalam peningkatan laju produksi gas. Dengan agitasi
substrat akan menjadi homogen, inokulum kontak langsung dengan substrat
dan merata, sehingga proses perombakan akan lebih efektif. Agitasi
dimaksudkan agar kontak antara limbah cair PMKS dan bakteri perombak
lebih baik dan menghindari padatan terbang atau mengendap. Agitasi pada
100 rpm dapat meningkatkan produksi biogas.
Reaksi
perombakan anaerobik tidak menginginkan kehadiran oksigen, karena
oksigen akan menonaktifkan bakteri. Kehadiran oksigen pada limbah cair
dapat berupa kontak limbah dengan udara. Kedalaman reaktor akan
mempengaruhi reaksi perombakan. Semakin dalam reaktor akan semakin baik
hasil perombakan.
Kehadiran
bahan toksik juga menghambat proses produksi biogas. Kehadiran bahan
toksik ini akan menghambat aktifitas mikroorganisme untuk melakukan
perombakan. Maka untuk memperoleh produksi biogas yang baik, kehadiran
bahan toksik harus dicegah.
Hasil
produksi biogas juga ditentukan oleh faktor waktu fermentasi. Hal ini
disebabkan untuk melakukan perombakan anaerob terdiri atas 4 (empat)
tahapan. Untuk itu setiap proses membutuhkan waktu yang cukup. Pengaruh
waktu fermentasi memberikan hasil yang berbeda pada produksi biogas.
Semakin lama proses fermentasi, maka akan semakin tinggi produksi
biogas.
Ahmad
(2003) menyatakan parameter kinetik merupakan dasar penting dalam
desain bioreaktor terutama konstanta laju pertumbuhan mikroba maksimum
dan menetukan waktu tinggal biomassa minimum. Parameter kinetik
biodegradasi anerob limbah cair PMKS optimum diperoleh pada konstanta
setengah jenuh (Ks) 1,06 g/L, laju pertumbuhan spesifik maksimum (µm)
0,187 / hari, perolan biomassa (Y) 0,395 gVSS/gCOD, konstanta laju
kematian mikroorganisme (Kd) 0,027 / hari, dan konstanta pemanfaatan
substat maksimum (k) 0,474 / hari.
Potensi biogas yang dihasilkan dari 600-700 kg limbah cair PMKS dapat diproduksi sekitar 20 m3 biogas (Goenadi, 2006) dan setiap m3
gas methan dapat diubah menjadi energi sebesar 4.700 – 6.000 kkal atau
20-24 MJ (Isroi, 2008). Sebuah PMKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam
dapat menghasilkan tenaga biogas untuk energi setara 237 KwH (Naibaho,
1996).
Selain
menghasilkan biogas, pengolahan limbah cair dengan proses digester
anaerobik dapat dilakukan pada lahan yang sempit dan memberi keuntungan
berupa penurunan jumlah padatan organik, jumlah mikroba pembusuk yang
tida diinginkan, serta kandungan racun dalam limbah. Disamping itu juga
membantu peningkatan kualitas pupuk dari sludge yang dihasilkan, karena sludge yang dihasilkan berbeda dari sludge limbah cair PMKS biasa yang dilakukan melalui proses konvesional (Tobing, 1997). Kelebihan tersebut adalah :
a. Penurunan kadar BOD bisa mencapai 80-90 %.
b. Baunya berkurang sehingga toidak disukai lalat.
c. Berwarna coklat kehitam-hitaman.
d. Kualitas sludge sebagai pupuk lebih baik, yaitu 1). Memperbaiki
struktur fisik tanah, 2). Meningkatkan aerasi, peresapan, retensi, dan
kelembaban, 3). Meningkatkan perkembangbiakan dan perkembangan akar, 4).
Meningkatkan kandungan organik tanah, pH, dan kapasitas tukar kation
tanah, dan 5). Meningkatkan populasi mkroflora dan mkrofauna tanah maupun aktivitasnya.
SIMPULAN
1. Limbah
cair PMKS berpotensi besar untuk menghasilkan energi biogas yang dapat
diperbaharui. Penggunaan sistem digester anaerob dapat memperoduksi
biogas dengan lebih maksimal.
2. Produksi
biogas dipengaruhi oleh faktor biotik meliputi mikroba dan jasad aktif
dan faktor abiotik meliputi pengadukan (agitasi), suhu, tingkat keasaman
(pH), kadar substrat, kadar air, rasio C/N, dan kadar P dalam substrat,
serta kehadiran bahan toksik.
3. Desain
perancangan tangki digester memperhatikan konstanta laju pertumbuhan
mikroba maksimum dan menetukan waktu tinggal biomassa minimum.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan
terima kasih disampaikan kepada Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom, M.Sc,
Ph.D yang telah memberikan saran dan kritik atas penulisan artikel
telaah pustaka ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Adrianto. 2003. Penentuan Parameter Kinetik Proses Biodegradasi Anaeron Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. Jurnal Natur Indonesia 6 (1). www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol 6 (1)/Adrianto.pdf.
Djajadiningrat, Surna T. dan Harsono, H. 1990. Penilaian Secara Tepat Sumber-sumber Pencemaran Air, Tanah, dan Udara. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
Goenadi, Didiek Hadjar. 2006. Berburu Energi di Kebun Sawit. Harian Republika Edisi 25 Februari 2006.
Hariyadi. 2009. Dampak Ekologi Pengembangan Kelapa Sawit untuk Bioenergi. http:/energi.infogue.com/dampak_ekologi_pengembangan_kelapa_sawit _untuk_bioenergi. (17 Maret 2009).
Isroi. 2008. Energi Terbarukan dari Limbah Pabrik Kelapa Sawit. isroi.wordpress.com/2008/02/2005energi_dari_limbah_sawit/-70-k. (17 Maret 2009).
Keputusan Menteri KLH Nomor KEP 51/MEN KLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.
Mahajoeno, Edwi, Lay, Bibiana Widiati, Sutjahjo, Suryo Hadi, dan Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Jurnal Bioversitas Volume 9 No. 1.
Naibaho, Ponten M. 1996. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit, Medan : Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Naibaho, Ponten M. 1999. Aplikasi Biologi dalam Pembangunan Industri Berwawasan Lingkungan, Jurnal Visi 7.
Soerjani, Muhamad, Yowono, Arief, dan Fardiaz, Dedi. 2007. Lingkungan : Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan, dan Keberlanjutan Pembangunan, Jakarta; Yayasan Institut Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Jakarta.
Soetrisno, Noer. 2008. Peranan Industri Sawit dalam Pengembangan Ekonomi Regional : Menuju Pertumbuhan Partisipatif Berkelanjutan. Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional Dampak Kehadiran Perkebunan Kelapa
Sawit terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar di Universitas Sumatera
Utara 6 Desember 2008.
Tobing, P.L. 1997. Minimalisasi dan Pemanfaatan Limbah Cair – Padat Pabrik Kelapa Sawit dengan Cara daur Ulang. Medan; Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Wardhanu, Adha Panca. 2009. Cleaner
Production : Mewujudkan industri Kelapa Sawit Kalimantan Barat yang
Berwawasan Lingkungan dan Berdaya Saing Tinggi di Pasar Global.
Wibisono, G. 1995. Sistem Pengelolaan dan Pengolahan Limbah Domestik, Jurnal Science 27.